Beranda | Artikel
Nilai-nilai Intangible (2) - Lanjutan
Selasa, 1 April 2014

Assalamualaikum Wr. Wb,

Sebenarnya topik ini mencuat kepermukaan berawal dari milis pengusaha-muslim.com sewaktu owner milis menjawab pertanyaan salah seorang member milis beberapa waktu yang lalu, yang seakan-akan mengorek memori ana (saya, red.) yang sudah rada error ini, … bagaikan sebait syair lagu yang menyiratkan, “Nilai-nilai Intangible sulit diukur dengan uang“, saya cuma mengutip dari sana-sini (tukang kutip, … eh salah, tukang nasi kog). Ok, saya nyontek lagi dari artikel “Kebenaran” yang ada di webblognya pak Umar di blogdetik.com, yang katanya, benar kata anta (kamu, red.) belum tentu benar menurut ana. Kalau dipaksakan kebenaran itu untuk jadi benar kita menerimanya atau mengakuinya, maka itu namanya “pemerkosaan akal” ….. he..he…he

Sempat ada yang menanyakan dalam forum sambil bercanda, makanan apa sih intangible itu? Kalau menurut kamus bahasa Inggris, terjemahan bebasnya, …. Hal-hal yang tidak dapat diraba, seperti misalnya cahaya, suara, aroma, dan yang seperti itu deh kira-kira. Tapi kalau dari sisi assets, katanya … Barang-barang berharga yang tidak dapat diraba, dan kalau dari sisi property, bilangnya sih … Harta milik yang tidak dapat diraba, atau yang tidak dinyatakan secara jelas (charm). Nah kalau katanya tukang nasi, …, harumnya atau wanginya aroma nasi kebuli karena inovasi cara pengolahan dan bumbunya yang oke punya, ….he…he…he, atau barangkali ada yang bisa kasih arti atau contoh lain, …. Silahkan tambahkan atau rubah contoh ini di kolom komentar.

Keahlian menjalankan bisnis kalau engga ahli, maka buktinya bisa langsung nyata dalam bentuk antara lain :

“Gagal, rugi, tidak efektif, tidak efisien, tidak untung, dll”

Ada “kebenaran” umum (folk wisdom) yang kadang-kadang luput dalam pengamatan kita. Alkisah, dulu kira-kira sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu, …… ketika para taipan atau juragan-juragan dadakan banyak di negeri antah berantah, .. mereka kalau mau buka suatu bisnis atau usaha, cuma perlu sedikit meluangkan waktu untuk kumpul-kumpul, ngobrol sambil ngopi atau minum teh di suatu tempat …. (rahasia ya… tempatnya), dan disela-sela obrolan, si tuan A bilang gue mau bikin Jembatan sama kapal buat anu … hm…hm…hm, ana lupa siapa pemesannya, disitu ada tuan B yang langsung menimpali obrolan itu, “besinya ambil dari gue ya ..” , ah elo mana punya pabrik besi, sanggah si tuan A, tapi si tuan B bisa langsung berkelit “ah itu sih gampang punya, gua bisa bikin pabrik, … modal biar dikit-dikit gua ada, kurangnya biar gua pinjem di Bank, gua punya banyak temen di Bank, dan kalo soal tenaga ahlinya, … gue datengin dari sono”,

Nah tuh … mulai kelihatankan arah ceritanya kemana…, dengan kata lain, apa susahnya kita merekrut sarjana ahli lalu kita gaji untuk menjalankan bisnis kita, yang selanjutnya kita tinggal menerima untungnya saja…he..he. .he

Kebenaran umum seperti ini, memang benar menurut pihak yang memang memahami, tapi prakteknya …, sebenarnya tidak benar bagi kebanyakan orang. Mengapa? …., bagi mereka yang memang sudah memahami (ahli dalam memanage-orang) hal ini oke punya, akan tetapi bagi mereka yang belum punya keahlian “managing people”, sering kali kebenaran umum ini menjadi sandungan baginya (belum tentu benar). Maksudnya, rencana bisnis kita bisa tersendat atau bahkan gagal, karena kita tidak memiliki keahlian yang memadai dengan masalah yang kita akan hadapi,… lagi2 “intangible” .

Kalau ada yang mempertanyakan, lho kok … si tuan B bisa, … ah itu sih jawabannya gampang punya, …. itu khan dulu, yakni ketika mereka-mereka masih dikelilingi “power”, tapi sekarang lihat sendiri akibatnya (BLBI, … pembahasannya bukan disini tempatnya).

Kesimpulannya, menerjuni suatu usaha di bidang apapun memang butuh fulus, butuh fasilitas (tangible, kalo orang sono bilang, eta mah … Kudu), tapi belum dapat menjamin kelangsungan suatu usaha. Untuk point yang terakhir ini, lebih banyak ditentukan oleh modal intangible yang berlimpah, maksud ana “kualitas SDM” yang kita punyai atau miliki, dan yang sesuai dengan kualifikasi dengan bidang usaha yang kita geluti. Modal usaha inilah yang akan membawa atau menentukan, apakah kita akan menjadi pengusaha sebulan atau seumur hidup.

Idealnya sih kita punya modal tangible yang berlimpah, dan juga punya modal intangible yang oke punya, cuma sayangnya, keadaan ideal ini sangat jarang terjadi. Keadaan seperti ini (punya dua-duanya), biasanya terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab, dengan kata lain, sebagai sebuah hasil dari suatu proses. Tegasnya, Pengusaha yang memiliki keduanya, menurut kacamata ana, adalah pengusaha atau pebisnis yang tahu persis plus atau minus kaca matanya, sekarang udah min berapa?, atau plus berapa?, dengan kata lain pengusaha yang sudah kawakan dan telah matang dalam menjalankan atau mempertahankan usahanya hingga masih tetap eksis sampai hari ini, bukan orang atau pebisnis yang baru memulai merintis usaha.

Untuk orang yang baru memulai merintis usaha, problem umum yang dihadapi, adalah problem yang muncul sebagai akibat adanya keterbatasan, antara lain : terbatas modalnya, terbatas SDM-nya, terbatas fasilitasnya, terbatas dalam mengantisipasi perubahan, terbatas pelanggannya, dll. Karena itulah modal intangible jauh lebih perlu didahulukan.

Ok, posting dulu di milis, kayanya bakalan panjang neeh kisah nilai-nilai intangible sambil nyari contekan baru, dan sepertinya untuk kisah nilai-nilai intangible berikutnya, … contekannya musti yang berbau Smart …. soalnya lagi musim istilah smart sekarang. Biar agak ngetrend sedikit bahasa di pengusaha-muslim. Com, dan untuk pak Fadil, maaf ya, … topik ini ana nyotek dari kalimat antum di milis (ng”ga permisi dulu, …… jadi malu ketahuan yang punya istilah “Nilai-nilai intangible”…he..he..he)

Wassalamualaikum Wr. Wb,

Umar – Tukang Nasi


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/331-nilainilai-intangible-2-lanjutan.html